Monday, April 04, 2005

About Fantasy

Daratan Eropa kaya akan folklore yang menceritakan tentang dunia dan makhluk khayalan. Especially England dan Ireland (sodaraan sih ya?). Maka memberikan ide kepada penulis2 Eropa untuk menggali imajinasi mereka tentang makhluk2 ini. Fairy tale dimulai di daratan Eropa dan kemudian menjadi mendunia. Siapa hayo yg gak kenal fairy, elf, dwarf, leprechaun, banshee, witch, wizard bertopi kerucut, werewolf, vampire, mermaid, dragon, unicorn, centaur, manticore, sampai ke manusia immortal Highlander dan monster Loch Ness dari Scotland? Sejak zaman dahulu kala penulis cerita fantasy banyak menelurkan cerita jempolan. Mulai dari Hans Christian Andersen (The Little Mermaid, The Tinder Box, Thumbelina, The Snow Queen, dll) sampai JK Rowling (Harry Potter series). Saking banyaknya novel fantasy yg gue baca sampai lupa lagi buku fantasy pertama yg dibaca yg mana (selain HC Andersen lho). Mungkin The Wizard of Oz-nya Baum, setelah itu Dracula-nya Stoker. And the list go on and on…

Penulis Amerika juga berani membuat buku dengan genre fantasy, meskipun makhluk2 fairy tale bukan berasal dari benua itu. Malah cerita2 mengenai fantasy yg berdasarkan spirit totem Indian, misalnya, jarang ditemukan. Penulis fantasy Amerika yg bukunya baru2 ini diterbitkan contohnya ‘the wonder boy’ Cristopher Paolini (Eragon) dan Clive Barker (Abarat). Mereka cukup percaya diri membuat dunia khayalan masing2 meskipun sesungguhnya asal-usul makhluk2 di dalamnya bukan berasal dari tradisi mereka.

Kenapa pengarang Indonesia nggak ada yg coba bikin fantasy? Mungkin karena nggak bisa nemu makhluk lokal yg lucu2? Contoh: siapa yg di pohon jambu belakang rumahnya ada kuntilanak? Genderuwo? Tuyul? Hiya! Jadi horor! Padahal, dongeng2 tradisional kita zaman dulu gak jauh2 dari khayalan. Tapi ya itulah, si sakti adalah tokoh antagonis yg biasanya tukang teluh. Calon Arang atau Candi Sewu misalnya. Atau malah kesaktiannya dipakai untuk mengutuk (Tangkuban Perahu, Malin Kundang), serem kan? Kita dijajah terlalu lama kah sehingga daya khayal seret?

Mungkin lebih beruntung cerita tentang superhero, Si Pitung misalnya. Bukan Gatot Kaca, ya? Ramayana bukan berasal dari sini. Tapi anak2 zaman sekarang ada yg kenal Si Pitung gak? Dulu ada Gundala Putra Petir (The Flash sekale seh?), belum lama ini ada Panci Manusia Alumunium (ehm, maksudnya Panji Manusia Millenium). Dua2nya, sori, garing! Bandingkan dengan Superman, Batman, Spiderman, Hulk, Wonder Woman, The X-Men, dll. Okelah, superhero bukan bidang orang2 Indonesia. Tapi bandingkan juga dengan negara2 Asia lainnya. Cina dan Jepang berjaya dengan cerita2 fantasy dan superhero mereka. Kenapa Indonesia gak bisa?

Adakah penulis Indonesia yg berani terima tantangan menulis cerita fantasy? Belum lama ini gue liat beberapa cerita rakyat ber-genre agak2 fantasy beredar lagi (Timun Mas misalnya dan Pramoedya yg menulis ulang cerita Calon Arang). Tapi nggak ada cerita baru, gebrakan baru. CMIIW. Soalnya, karena booming Harry Potter, banyak anak2 yg jadi menyukai fantasy.

Ada satu orang teman yg pernah berkata bahwa sekarang banyak penulis yg ikut2an nulis fantasy (penyihir) gara2 booming Harry Potter. No, gue gak setuju. Kenapa? Karena di Barat sana tiap tahun muncul banyak buku ber-genre fantasy, hanya nggak booming disini aja. JK Rowling bukan orang pertama yg menulis tentang penyihir. Ada Tolkien, Ursula K. LeGuin, Neil Gaiman, Phillip Pullman, C.S. Lewis, bahkan Shakespeare (anyone knows ‘A Midsummer Night’s Dream?’, very fantasy by Shakespeare). Semua pengarang itu seniornya Rowling. Karena Harry Potter booming disini maka penerbit jadi berani mencetak terjemahan buku2 fantasy. Beberapa malah telah beredar di negeri asalnya puluhan tahun yg lalu, seperti LOTR dan buku2 Roald Dahl (The Witches, Charlie and the Chocolate Factory, The Magic Finger, dll).

Kenapa baru setelah Harry Potter? Kenapa Harry Potter seakan menjadi pelopor? Mungkin karena ceritanya modern, penyihirnya anak tanggung, dan setting materialnya familiar (hey, Dudley Dursley hobinya main Play Station toh?). Sementara yg lain tidak familiar karena bersetting dunia antah-berantah atau zaman dahulu kala (1600-1800-an). Setelah film trilogi LOTR ngeborong Oscar di Academy Award tahun lalu, buku2 genre fantasy yg lebih tradisional Eropa mulai dicari. Hasilnya penerbit sini berhasil menjual Eragon dan Abarat. Jadi, bukan karena mereka ikut2an, tapi orang Indonesia aja yg baru ‘ngeh’ dengan cerita2 macam begini. Setelah ini mungkin bakal keluar terjemahan ‘His Dark Material Trilogy’-nya Pullman, ‘Bartimaeus Trilogy’-nya Jonathan Stroud, dan ‘Jonathan Strange and Mr.Norrell’-nya Susanna Clarke. Semua berhubungan dengan penyihir.

Fantasy bukan hanya monopoli anak2. Contohnya---lagi2---LOTR-nya Tolkien dan Stardust-nya Gaiman. Tapi gue jarang banget nemu orang dewasa disini yg suka dengan fantasy. Gue dengan suksesnya dikatain ‘masa kecil kurang bahagia’ atau ‘daya khayal ketinggian’ atau ‘kekanak-kanakan banget sih?’ cuma karena doyan melahap fantasy. Lho, kenapa memangnya? Mungkin karena itu juga pengarang Indonesia males menelurkan karya2 fantasy? Apalagi dengan makhluk ciptaan dan dunia ciptaan mereka sendiri?

Itulah, penulis Indonesia seakan terkekang dengan peraturan tak tertulis yg harus setia dengan kondisi, adat dan tradisi nasional. Kalau menyimpang memang takut dibilang gak punya rasa nasionalisme? Sori2 aja, rasa nasionalisme gue juga menipis akhir2 ini. Apakah pengarang Indoesia harus selalu menyuguhkan setting yg sudah familiar dengan pembaca? Ayo bikin gebrakan baru, ciptakan dunia sendiri!

Poppy
http://peopleofthestars.blogspot.com

No comments: