Kami beramai-ramai pergi ke Cikubang.
“Seperti jalan menuju Hogwarts, ya?” komentar Anne.
“Iya,” kata Jo, “lihat waktu Ron dan Harry naik mobil terbang menyusul Hogwarts Express? Nah, mirip banget..”
Memang ada rasa seperti sedang menuju Hogwarts. Makanya, Anne bersikeras, di daerah ini pasti ada desa penyihir. Seperti Hogsmeade itu lho..
Mendaratlah kita beratus-ratus penyihir di jembatan itu. Di sana sudah ada Muggles, beberapa orang, dan mereka seperti sedang merundingkan sesuatu. Serius. Tentu saja mereka tidak bisa melihat para penyihir. Sudah pakai penyamaran sih.
Ambu lalu menanggalkan penyamaran, dan mendekati mereka. “Assalamualaikum, pak Agung.”
Pak Agung Budi Waskito (manager operation – sok kenal Ambu nih, hehe) menengok. Lha, ini ada ibu-ibu, sendirian, nggak ada kendaraannya –apa jalan kaki?—mau ngapain? “Waalaikum salam. A-Ada a-apa, ya?”
“Kelihatannya pak Agung sedang bingung tentang sesuatu. Boleh kami bantu?”
“Eh, ..”
“Kami dari suatu organisasi, tidak akan mengganggu kok. Justru kami mau bantu,” Ambu sok kenal bener. Hihi..
“B-bo-boleh…”
Nggak percuma Ambu sudah melancarkan mantra “Persuasivusim”, orang jadi ngebolehin apa aja. Psst, jangan dipakai buat murid buat ngemantrain guru agar memulangkan mereka dari sekolah, ya? Mantra ini perlu ijin dari Kementrian setempat, sekelas di bawah Imperius..
Ya, maka Ambu kembali ke tempat para penyihir telah menunggu. Mereka membuka penyamaran mereka. Lalu kami berkumpul. Jadi, masalahnya apa?
“Begini,” pak Agung tak ragu-ragu lagi sekarang, “disinyalir akan ada sekelompok .. makhluk. Kami tidak tahu ini manusia atau bukan. Mereka akan meledakkan Jembatan Cikubang, tepat saat delegasi KAA melewatinya.”
“Kami sudah berusaha dengan menyisir daerah ini, tapi tidak menemukan apa-apa. Sepasukan TNI juga sudah berjaga-jaga, ada dari Intelijen, ada dari Gegana. Tapi mereka tidak menemukan apa-apa. Tetapi, dari sumber kami, para perusuh itu masih ada,” nada suara Pak Agung seperti putus asa.
OK. Kita akan menemukannya. Edu segera mengeluarkan alat yang seperti Poke-Deck, dan terbang dengan sapu-janur nya mengelilingi daerah Cikubang. Beberapa saat kemudian dia kembali.
“Tidak ada apa-apa. Bukan penyihir, berarti. Tetapi manusia biasa. Mereka mungkin menggunakan alat yang kecepatannya luarbiasa, jadi tidak bisa dilacak oleh manusia lain. Apalagi TNI sekarang kan sebenarnya … sudah agak ngos-ngosan, hehe..” Edu nyengir.
“Ya, sudah. Kita berpatroli sekeliling,” EG segera membagi tugas. “Mata ditajamkan, kalau ada yang punya mata gaib seperti Moody, harap segera dipakai. Juga semua alat-alat sihir seperti Cermin Musuh Portabel, dan sebagainya, mohon diaktifkan,”
Segera saja orang-orang mengeluarkan alat-alat yang aneh-aneh. Dan kau tidak akan percaya, bahwa mereka mengeluarkan alat-alat yang besar-besar. Kelihatannya mereka seperti tidak membawa apa-apa, tapi ketika diperiksa sakunya, …
“Tidak mungkin perbuatan Jawara,” Rahmat Ali melihat-lihat sekeliling, ia berpatroli dengan John O’Connors yang mengaku keturunan langsung banshee.
“Jawara itu apa?”
“Jawara itu sekelompok orang-orang dengan keahlian khusus di kalangan manusia. Mereka akhir-akhir ini sedang sibuk mempersiapkan Pilkada di daerahnya, jadi mana mungkin punya waktu untuk mengacaukan KAA,” Rahmat Ali menerangkan.
“Di sini ada sesuatu,” Farah berteriak. Kami bergegas mendekatinya. Ia menunjuk pada tiang-tiang jembatan. Di sela-selanya ada benda, seperti kotak. Spidey mengguncangnya pelan-pelan.
“Kedengarannya cair,” katanya. Tapi … sepertinya mau meledak! Segera dia menunjuk kotak itu dan berbisik “Stupefy”. Lalu dia membawa ke daerah sungai Cisomang dan meledakkan di air. Wah, air muncrat ke mana-mana. Melihat ledakannya, sepertinya ledakan yang dahsyat.
“Pasti bukan cuma satu,” kata Boy, dan bergegas kita mendekati tiang-tiang, seorang satu. Lalu mencari dengan saksama. Benar saja, di tiap tiang ada celah sambungan, di situ ada kotak bom. Bagaimana mereka bisa menaruhnya? Pertama, untuk mencapainya saja sulit. Trus, bagaimana menaruhnya tanpa kelihatan?
(Masih bersambung)
No comments:
Post a Comment